Ketika
menjelaskan firman Allah di surat at Taubat:60, Fakhruddin ar Razi mengatakan,
“Kandungan hukum yang kedua, ayat di atas menunjukkan bahwa penguasa atau orang
yang diangkat oleh penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengambil dan mendistribusikan
harta zakat. Sisi pendalilannya, Allah menetapkan bahwa amil mendapatkan bagian
dari zakat. Ini menunjukkan bahwa untuk membayarkan zakat harus ada amil.
والعامل هو الذي نصبه الإمام لأخذ الزكوات
Sedangkan
amil adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat (bukan
sekedar menerima zakat, pent).
Sehingga ayat di atas adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengambil harta zakat. Kebenaran pernyataan ini semakin kuat dengan firman Allah,
Sehingga ayat di atas adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengambil harta zakat. Kebenaran pernyataan ini semakin kuat dengan firman Allah,
خُذْ مِنْ أموالهم صَدَقَةً
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka” (QS at Taubah:103).
Oleh
karena itu mengatakan bahwa pemilik harta itu diperbolehkan untuk membayarkan
zakat hartanya yang tersembunyi (yaitu zakat uang, pent) secara langsung adalah
berdasarkan dalil yang lain. Mungkin di antara dalil yang menunjukkan
pernyataan ini adalah firman Allah,
وَفِى أموالهم حَقٌّ لَّلسَّائِلِ والمحروم
“Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak meminta-minta” (QS adz Dzariyat:19).
Jika
zakat adalah hak orang miskin yang meminta-minta dan yang tidak meminta-minta
maka tentu dibolehkan menyerahkan zakat secara langsung kepada yang berhak
menerima” (Mafatiih al Ghaib atau Tafsir ar Razi 8/77, Maktabah Syamilah).
Ketika
membahas hadits Ibnu Abbas tentang pengutusan Muadz bin Jabal ke Yaman, Ibnu
Hajar al Asqolani berkata, “Hadits ini bisa dijadikan dalil bahwa penguasalah
yang memiliki otoritas untuk mengambil zakat dan menditribusikannya baik secara
langsung ataupun melalui orang yang dia angkat. Barang siapa yang menolak untuk
membayar zakat maka akan diambil secara paksa” (Fathul Bari 5/123 hadits
no 1401, Maktabah Syamilah).
Ibnu Humam al Hanafi mengatakan, “Makna tekstual dari firman Allah yang artinya, ‘Ambillah zakat dari harta mereka’ (QS at Taubah:103) menunjukkan bahwa hak mengambil zakat itu secara mutlak berada di tangan penguasa” (Fath al Qodir 3/478).
Ibnu Humam al Hanafi mengatakan, “Makna tekstual dari firman Allah yang artinya, ‘Ambillah zakat dari harta mereka’ (QS at Taubah:103) menunjukkan bahwa hak mengambil zakat itu secara mutlak berada di tangan penguasa” (Fath al Qodir 3/478).
Ketika
menjelaskan firman Allah dalam surat at Taubah ayat yang ke-60, al Qurthubi al
Maliki mengatakan, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang
diangkat oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dengan status sebagai wakil
penguasa dalam masalah tersebut” (al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 8/177
Maktabah Syamilah).
Asy
Syaerozi asy Syafii mengatakan, “Penguasa memiliki kewajiban untuk mengangkat
amil untuk mengambil zakat karena Nabi dan para khalifah setelahnya selalu
mengangkat petugas zakat. Alasan lainnya adalah karena di tengah masyarakat ada
orang yang memiliki harta namun tidak mengatahui kadar zakat yang wajib
dikeluarkan. Demikian pula diantara mereka ada yang memiliki sifat pelit
sehingga penguasa wajib mengangkat petugas. Petugas yang diangkat penguasa
haruslah orang yang merdeka (bukan budak), baik agamanya dan bisa dipercaya karena
status sebagai amil zakat adalah sebuah kekuasaan dan amanah. Sedangkan seorang
budak dan orang yang fasik tidak berhak diberi kekuasaan dan amanah. Penguasa
tidak boleh mengangkat sebagai amil zakat kecuali orang yang faham fiqih karena
hal ini membutuhkan pengetahuan tentang harta yang wajib dizakati dan yang
tidak wajib dizakati serta perlu adanya ijtihad berkaitan dengan berbagai
permasalahan dan hukum zakat yang dihadapi”(al Muhadzab hal 308 dan
al Majmu’ Syarh al Muhadzab 6/167, Maktabah Syamilah)
Syeikh
Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak
mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang
diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban
untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat
sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang
yang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk
mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak
berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai
wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan
zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan
maka mereka turut mendapatkan pahala…. Namun jika mereka meminta upah karena
telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya
upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat” (Majalis Syahri Ramadhan hal
163-164, cet Darul Hadits Kairo).
Sayid
Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa
atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya.
Termasuk amil zakat orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan
ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat” (Fiqh Sunnah
1/327, terbitan Dar al Fikr Beirut).
Syeikh Shalih al Fauzan, salah seorang
ulama dari Arab Saudi, menjelaskan, “Amil zakat adalah para pekerja yang
bertugas mengumpulkan harta zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar
zakat lalu menjaganya dan mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Mereka bekerja berdasarkan perintah yang diberikan oleh penguasa
kaum muslimin. Mereka diberi dari sebagian zakat sesuai dengan upah yang layak
diberikan untuk pekerjaan yang mereka jalani kecuali jika pemerintah telah
menetapkan gaji bulanan untuk mereka yang diambilkan dari kas Negara karena
pekerjaan mereka tersebut. Jika demikian keadaannya, sebagaimana yang berlaku
saat ini (di Saudi, pent), maka mereka tidak diberi sedikitpun dari harta zakat
karena mereka telah mendapatkan gaji dari negara” (al Mulakhash al Fiqhi
1/361-362, cet Dar al ‘Ashimah Riyadh).
‘Adil
bin Yusuf al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para
petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang
yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah
orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan
mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka
itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang
kaya” (Tamam al Minnah fi Fiqh al Kitab wa Shahih al Sunnah 2/290,
terbitan Muassasah Qurthubah Mesir).
Berdasarkan
paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat
adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat
dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai
masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil
secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil
adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Sayid
Sabiq berkata, “Siapa yang menolak untuk membayar zakat padahal dia menyakini
kewajibannya maka dia berdosa karena tidak mau membayar zakat meski hal ini
tidak mengeluarkannya dari Islam. Penguasa memiliki kewajiban untuk mengambil
harta zakat tersebut secara paksa darinya serta memberikan hukuman atas sikap
orang tersebut” (Fiqh Sunnah 1/281).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar