Yang tersimpan dalam Sumpah Satie Bukik Marapalam
PIAGAM SUMPAH SATIE BUKIK MARAPALAM
Tidak ada bukti tertulis sehingga tidak pula ada kepastian waktu, tempat, dan
pelaku peristiwa pencetusan piagam sumpah satie Bukik Marapalam yang pasti.
Namun masyarakat meyakini bahwa piagam sumpah satie Bukik Marapalam atau lebih
populer disebut sumpah satie Bukik Marapalam disepakati oleh para pemuka
adat dan ulama di puncak bukit itu masa perkembangan Islam di Minangkabau
(selanjutnya ditulis Minang). Konsensus itu didasari oleh sifat egaliter
masyarakatnya. Piagam sumpah satie tersebut diyakini berbunyi adaik basandi
syarak, syarak basandi kitabullah disingkat dengan ABS-SBK (adat bersendi
agama Islam, Islam bersendikan Al Quran.). Namun karena berbagai versi juga ada
yang menyatakan konsensus pertama antara kaum adat dan ulama berbunyi “adaik
basandi syarak, syarak basandi adaik” (adat bersendi agama Islam, Islam
bersendi adat).
Ketiadapastian peristiwa itu dan hampir tidak adanya
tulisan Belanda mengundang munculnya beragam versi sejumlah peneliti, pemerhati
agama dan adat di Minang. Bahkan perhatian mereka tentang hubungan antara
variabel adat dan agama dewasa ini juga berkembang untuk kasus-kasus di luar
dan dalam masyarakat Minang. Misalnya karya Hamka (terbit pada pertengahan
1946) “Islam dan Adat Minangkabau”; karya Ratno Lukito (1998) tentang Pergumulan
Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia; sejumlah karya C. Snouck
Hurgronje; Taufik Abdullah; penelitian dan seminar yang didanai oleh Pemerintah
Daerah (Pemda) Tingkat I Sumatera Barat bekerja sama dengan Fakultas Sastra
Universitas Andalas Padang tahun 1991.
Konsensus tersebut muncul sebagai sintesa dari proses
dialogis antara kedua kaum itu. Namun sintesa tersebut bukan untuk menyatukan
ajaran Islam dengan adat Minang, tetapi untuk saling melengkapi dan
menyesuaikan. Periode kemunculan ABSSBK itu ialah antara permulaan masuknya
Islam sampai waktu masyarakat Minang menghadapi kolonial Belanda hingga pasca
perang Paderi, dan Belanda memanfaatkan kesempatan itu dengan menggunakan
pendekatan konflik.
Piagam sumpah satie tersebut adalah sebuah konsep
dalam tataran ideologis dan dijadikan sebagai falsafah atau pedoman dalam
kehidupan sosial, budaya, agama dan politik masyarakat Minang. Konsep tersebut
relevan dengan Minang dalam konteks sosial-budaya, sehingga falsafah itu
berlaku untuk masyarakat Islam etnis Minang. Falsafah itu hampir sama dengan
falsafah di daerah lain seperti di Aceh yang diekspresikan dengan “hukum
ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sifeut” (hukum adat dan Islam tidak
dapat dipisahkan, seperti zat dan sifat suatu benda), atau di Ambon dikenal
“adat dibikin di mesjid” (adat dibuat di dalam mesjid).
Sebagian besar masyarakat Minang meyakini perjanjian
itu terjadi di puncak Bukit Marapalam. Nama bukit itu awalnya sebuah istilah,
berdasarkan foklor berasal dari kata “Merapatkan Alam” yaitu merapat atau
terhubung dengan alam Luhak nan Tigo.. Asumsi lain tentang nama itu
ialah rapat untuk mencari penyelesaian konflik kaum adat dengan ulama atau
antar ulama yang berbeda mazhab dan tariqat.
Puncak bukit tertinggi di Kabupaten Tanah Datar berada
di puncak Bukit Marapalam, dinamakan Puncak Pato. Nama itu berasal dari istilah
fakto atau pakta (puncak untuk membuat perjanjian). Asumsi lain ialah berasal
dari kata patongahan (pertengahan) antara kedudukan Tuanku Lintau di
Lintau dengan Yang Dipertuan Agung Raja Pagarruyung di Pagarruyung.
Daerah tersebut strategis karena terletak di daerah
perbukitan yaitu antara Kecamatan Lintau dengan Kecamatan Sungayang. Kaum
Paderi maupun pasukan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)
menggunakan wilayah itu sebagai pertahanan gerilya. Daerah tersebut relatif
dekat dengan Luhak nan Tigo sehingga mudah memantau musuh jika bergerak
dari Nagari Sungayang, Tanjung, Andalas, dan Marabukit untuk menuju Bukit
Marapalam. Belanda sendiri pada masa perang Paderi sulit membobol pertahanan
kaum Paderi, sehingga Belanda harus mengerahkan sekitar 150 tentara untuk
menaklukannya dan merebut daerah tersebut. Daerah itu juga strategis untuk
persediaan logistik, karena Lintau dikenal sebagai penghasil beras di Minang.
Selain itu daerah tersebut termasuk kekuasaan Tuanku Lintau yang berkedudukan
di Tepi Selo Lintau.
Beberapa versi di sini berdasarkan laporan penelitian
dan seminar tentang Sumpah Satie Bukik Marapalam (1991). Versi pertama tentang
peristiwa kemunculan piagam sumpah satie itu terjadi pada masa Syekh
Burhanuddin menyebarkan Islam di tengah-tengah kuatnya pengaruh adat di alam
Minang. Hamka (1984) bahwa evolusi perkembangan Islam (secara tersirat ia
memperkirakan masa Syekh Burhanuddin) masih berlaku konsensus pertama yaitu “adaik
basandi syarak, syarak basandi adaik”.
Fakta sosial pun membuktikan bahwa ia berhasil
mengembangkan aliran Sattariyah di Nagari Andaleh ke pedalaman Minang yaitu ke
Marabukit yang berada di kaki Bukit Marapalam.
Azwar Datuk Mangiang pernah mewawancarai Inyiak
Canduang (penulis buku “Perdamaian Adat dan Syarak”) pada akhir tahun 1966 di
Pekan Kamis Candung. Dalam makalah “Piagam sumpah satie Bukik Marapalam”, Azwar
menyatakan peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1644 Masehi (M), jauh sebelum
revolusi perkembangan Islam di alam Minang oleh Paderi.
Alam Minang terdiri dari rantau dan luhak nan tigo.
Rantau Minang mencakup wilayah di luar Luhak nan tigo itu, yaitu rantau
timur (Kampar, Siak, Rokan, Asahan, Indragiri, Jambi dan Batang Hari) dan rantau
barat di Pantai Barat Sumatera (Natal, Sibolga, Barus, Singkel, Trumon,
Tapak Tuan, Meulaboh, Tiku, Pariaman, Indrapura, Muko Muko, Majuto dan
Bangkahulu). Luhak nan tigo yaitu Luhak Agam (sekeliling
Bukittinggi), Luhak Tanah Datar (selingkar Batu Sangkar) dan Luhak Lima Puluh
Kota (sekitar Payakumbuh). Secara geografis ketiga luhak itu relatif
berdekatan, terutama antara Luhak Tanah Datar dengan Luhak Lima Puluh
Kota.
Sejarah perkembangan Islam di Minang adalah sejarah
perkembangan kota-kota dagang di rantau Minang. Awal abad ke-7 M atau
abad I Hijriah rantau timur Minangkabau telah menerima dakwah Islam.
Bahkan J.C. van Vanleur dalam bukunya Indonesian Trade & Socety (1955)
menyatakan bahwa pada permulaan tahun 674 AD Pantai Barat Sumatera telah dihuni
koloni Arab.
Ketika itu Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di
Palembang telah menyebarkan agama Hindu ke Nusantara dari abad ke-7
hingga ke-13 M. Masuknya Islam pada masa itu menimbulkan persaingan perdagangan
sekaligus pengaruh untuk mengembangkan agama masing-masing. Sebagaimana pernah
terjadi persaingan sengit antara angkatan Laut Sriwijaya dengan pedagang Islam
di Malaka. Pedagang muslim Arab dan Parsi akhirnya menuju pesisir timur dan
barat Sumatera. Kemudian akibat ‘perkawinan politik’ antara saudagar Islam
dengan putri kerajaan setempat, maka terbentuklah kerajaan Islam Perlak dengan
sultan pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah yang menganut Islam Syiah
(840 M-888/913 M). Namun akhirnya di Perlak juga berkembang aliran Sunni.
Sriwijaya kembali menyerang Perlak namun kemudian dimenangkan oleh Perlak.
Setelah itu Perlak dipimpin oleh seorang Sunni yaitu Sultan Makhudum Alaiddin
Malik Ibrahim Syah Johan berdaulat (1006 M). Sriwijaya kemudian berhadapan
dengan Kerajaan Darma Wangsa di Pulau Jawa, setelah itu dengan Majapahit, dan
Majapahit menang sejak tahun 1477 M. Seluruh Pantai Timur Minang jatuh ke
tangan Majapahit sampai akhirnya Majapahit lemah setelah raja Hayam Wuruk
meninggal. Semenjak itu pula kerajaan Pagarruyung diperintah oleh putera
mahkota pertama Majapahit keturunan Kertanegara dan Dara Petak dari Minang,
yaitu Adityawarman.
Sementara itu tahun 1400 Malaka dan Samudera Pasai,
masing-masingnya menjadi kota dagang dan kerajaan Islam. Pengaruh Islam
berkembang sampai ke Pantai Barat Minang. Akan tetapi, dinamika perkembangan
dakwah Islamiyah agak lamban di sana, sebab sering terjadi pertentangan mazhab
Syiah dengan Sunni di Aceh dan masalah perebutan Selat Malaka.
Kemudian rantau Alam Minang sudah mulai didominasi pemeluk Islam.
Sementara Yang Dipertuan Adityawarman masih memeluk Budha dan Dinastinya
berlanjut sampai tahun 1581 M. Kekuasaannya hanya terbatas di sekitar
kerajaannya. Bahkan Mochtar Naim dalam karyanya Merantau Pola Migrasi Suku
Minangkabau (1984) mengatakan bahwa raja hampir tidak memiliki kekuasaan
apa-apa di Minang. Ia hanya sebatas simbol kekuasaan dan lambang persatuan.
Terutama setelah Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang
meninggal, raja melimpahkan kekuasaannya kepada raja-raja muda yang disebut rajo
kaciak (raja kecil) dan (atau) penghulu di rantau. Raja (kingship)
berbentuk kuasa tiga serangkai (trium virate), disebut juga Rajo Tigo
Selo yang bersemayam di Pagarruyung di Luhak Tanah Datar. Mereka adalah
Rajo Alam (sebagai primus inter pares dari ketiga kuasa itu), namun yang
lainnya yaitu Rajo Adat dan Rajo Ibadat sesungguhnya berkedudukan dan mempunyai
daerah masing-masing di Buo dan di Sumpur Kudus.
Kekuasaan tiga serangkai itu diperkuat oleh dewan
menteri yang disebut Basa Ampek Balai. Sistem tersebut dicontoh dari
Kerajaan Majapahit yang pernah dipimpin hanya oleh Patih Gdjah Mada sendiri.
Mereka adalah Bandaharo dari Sungai Tarab, Tuan Kadi dari Padang Ganting,
Mangkudum dari Suruaso dan Indomo dari Sumanik. Kuasa mereka diperkuat pula
oleh Tuan Gadang dari Batipuh untuk urusan pertahanan. Sebelum kerajaan
Pagaruyung diruntuhkan Belanda, dalam tahun 1821 Sultan Begagar Alamsyah telah
mempermaklumkan kepada seluruh rakyat di Minangkabau untuk angkat senjata,
perang melawan penjajah Sejak itu perang Paderi telah berubah bentuk menjadi
perang Minangkabau. Sesungguhnya kesepakatan antara kaum adat dan kaum agama
sudah terlaksana, sebagai realisasi dari piagam Bukik Marapalam dan Kesepakatan
Tandikat.
Jauh sebelum perang Paderi, pernah tercatat tahun 1411
M raja Pagarruyung keempat Dewang Pandan Sutowono (Raja-raja Pagarruyung yaitu
Adityawarman, Anggawarman_anaknya, Dewang Duato Doewano_keponakan pertama,
Dewang Pandan Sutowono_keponakan kedua) dan permaisurinya sudah memeluk Islam
dan mereka berguru kepada Tuanku Syekh Magribi atau dikenal juga Syekh Ibrahi
(Maulana Malik Ibrahim).
Pada masa itu telah terjadi penyesuaian antara Islam
dengan adat setempat. Sebagaimana yang disebutkan L.C. Westenenk dalam
karangannya Opstellen over Minangkabau bahwa masa adaik mananti,
syarak mandaki telah ada upacara ritual pada dua buah batu di Pincuran
Tujuh di Batang Sinamar, Kumanih. “Batu Palimauan” tempat Rajo Ibadat disucikan
dengan limau (jeruk) sebelum mengucapkan kalimat Syahadat dan “Batu
Pa-Islaman” tempat Syekh Ibrahi melakukan khitanan kepada mereka. Namun
kegiatan yang erat dengan budaya Hindu-Budha masih akrab dalam masyarakat
Minang kala itu.
Kemudian datanglah Syekh Burhanuddin yang bernama asli
Pono. Ia berguru kepada Syekh Abdurrauf di Aceh. Ia berdakwah ke Minang dengan
membuka sekolah agama seperti di Ulakan Pariaman dan di Kapeh Kapeh Pandai
Sikek Padangpanjang yang ramai dikunjungi oleh murid dari Luhak nan Tigo.
Ia juga berusaha memurnikan ajaran Islam dari pengaruh budaya Hindu-Budha seperti
minum tuak, menyabung ayam atau berkaul ke tempat keramat. Istana Pagarruyung
juga menjadi sasarannya dan ia berhasil. Keberhasilan itu membuat dia dikenal
sebagai ulama besar di Minang.
Masa itu sempat terjadi perbedaan pendapat antara penghulu
sendiri, dan di antara yang tidak setuju itu kemudian menentang
ulama. Namun kesepakatan damai tercipta antara para Penghulu, Tuanku dan
Alim Ulama Minang. Kesepakatan itu bertujuan untuk saling
mengakui eksistensi ulama dengan penghulu, sehingga ulama bukan bawahan
Penghulu seperti panungkek, manti dan dubalang,
Para kaum adat dan ulama yaitu Syekh Burhanuddin
sebagai penggagas piagam sumpah satie tersebut dengan dua muridnya (salah satu
muridnya Idris Majolelo) bersama penghulu Ulakan menemui Yang Dipertan Agung
Pagarruyung. Seterusnya mereka bersama Rajo nan Tigo Selo dan Basa Ampek
Balai melakukan upacara pemotongan kerbau. Mereka memakan dagingnya, dikacau
(menebarkan) darahnya, ditanam tanduknya, dilacak pinang dan ditapung
batu, ‘diikat’ dengan Al Fatihah, dikarang sumpah jo satie, siapa
yang melanggar akan dimakan biso kawi di atas dunia, dimakan kutuk
Kalammu`llah pada akhirat dan disudahi dengan doa selamat.
Semenjak itu muncul beberapa pepatah petitih, yaitu syarak
mandaki, adaik manurun; syarak lazim, adaik kawi; syarak babuhue mati,
adaik babuhue sintak; syarak balindueng, adaik bapaneh; syarak mangato, adaik
mamakai; syarak batilanjang, adaik basisampieng (___).
Semenjak Aceh di bawah Sultanat Tajul Alam
Shafiathuddin Syah menguasai Pantai Barat Sumatera dari tahun 1641-1675 M,
Sultan nan Salapan dari Pagarruyung diperintahkan turun ke Aceh, Bantam,
Palembang, Jambi, Indragiri, Siak, Rokan, Sungai Pagu, Indrapura, dan Pariaman
untuk menjadi raja dan berdakwah. Mereka juga yang menyampaikan buek
parbuatan (piagam sumpah satie Bukik Marapalam) kepada masyarakat di alam
Minang. Kepergian Sultan nan Salapan dilepas oleh rajo-rajo (raja-raja),
manti-manti, Basa Ampek Balai, penghulu-penghulu, tuanku-tuanku dan para
hulubalang yang diundang dari Luhak nan Tigo. Mereka yang
diundang sekaligus ditugaskan menyebarkan piagam sumpah satie itu.
Ketika itu Pagarruyung telah diperintah oleh Sultan Ahmadsyah gelar Tuanku Rajo
nan Sati yang dilewakan dengan gelar tambahan yaitu Raja Alif. Dialah raja Pagarruyung
yang pertama bertugas menyebarluaskan piagam sumpah satie tersebut.
Versi kedua yaitu Piagam sumpah satie Bukit Marapalam
masa awal gerakan/perang Paderi. Gerakan Paderi yang diilhami oleh kebangkitan
Islam oleh kaum Wahabi di Tanah Suci, Arab Timur. Paham Wahabi berkembang
sampai ke Minang secara radikal dan pendukungnya hendak mengembalikan kemurnian
Islam secara revolusi. Mereka disebut kaum Paderi yaitu orang dari kota
pelabuhan di Pidie, Aceh.
Daerah pertahanan yang strategis bagi kaum Paderi adalah
puncak Bukit Marapalam. Namun mereka khawatir korban bertambah di kalangan
masyarakat. Kaum Paderi menggagas perjanjian dengan kaum adat. Datuk Bandaro
berinisiatif menemui Datuk Samik untuk menyetujuinya. Kesepakatan mereka
dilaporkan kepada Datuk Surirajo Maharajo di Pariangan. Mereka berhasil
mengeluarkan Piagam sumpah satie Bukik Marapalam yaitu ABSSBK.
Versi ketiga yaitu Piagam sumpah satie Bukit
Marapalam masa awal perang Paderi sekitar tahun 1803-1819. Kedua pihak yang
berperang sama-sama kuat. Namun kaum Paderi sering melakukan serangan mendadak
ke nagari-nagari. Benteng pertahanan mereka sekitar jalan bukit
Marapalam ke Lintau diparit tinggi dan melingkar. Kaum adat melirik bangsa
Eropa (Belanda) untuk mendapatkan dukungan sehingga terjadi perang Paderi.
Korban berjatuhan diketiga pihak yang berkepentingan. Melihat kejadian itu yang
lebih menguntungkan Belanda, maka muncul kesadaran beberapa kaum adat untuk
berdamai dengan ulama Paderi dan bersatu melawan Belanda. Tersebutlah Datuk
Bandaro wakil golongan adat dan Tuanku Lintau sebagai tokoh yang memprakarsai
perjanjian itu di Bukit Marapalam. Fakta sosial membuktikan bahwa Tuanku Lintau
yang mengkonsep, mengatur, dan menjalankan ABSSBK.
Versi keempat yaitu Piagam sumpah satie Bukit
Marapalam masa vacum perang Paderi. Kaum Paderi menganggap kaum adat dan
Belanda sebagai kafir yang harus diperangi. Strategi Belanda yaitu mengalihkan
pasukannya menghadapi Perang Diponegoro di Jawa, sementara Belanda pura-pura
berdamai dengan kaum Paderi, namun antara ulama dengan kaum adat belum juga
berdamai. Melihat strategi Belanda maka kaum Paderi juga melakukan rekonsiliasi
dengan kaum adat untuk menambah kekuatan dengan sebuah perjanjian. Pelopor dari
kaum adat yaitu Datuk Bandaro dan dari Paderi (sekaligus yang mampu menanamkan
ajaran Islam kepada mereka) adalah Tuanku Lintau. Pertentangan mulai reja
semenjak perjanjian itu, namun pertentangan masih terasa antara para datuk
dari Nagari Saruaso dan Batipuh.
Versi kelima yaitu Piagam sumpah satie Bukik Marapalam
masa Perang Paderi II. Strategi perang Belanda berhasil, terbukti dengan
kekalahan Diponegoro dan kemudian jatuhnya benteng pertahanan Paderi Lintau di
puncak Bukit Marapalam bulan Agustus 1831. Berturut-turut jatuhlah ke tangan
Belanda benteng di Talawi, Bukit Kamang dan kekuatan Tuanku Nan Renceh. Semua
Paderi di Agam jatuh ke tangan Belanda akhir Juni 1832. Mereka telah terlanjur
diadu domba oleh Belanda dengan adanya konflik agama dan adat. Namun sebelum
Bukik Marapalam jatuh ke tangan Belanda, antara kaum adat dan agama telah
berunding yang menghasilkan piagam sumpah satie tersebut. Kembali disebut-sebut
Tuanku Lintau sebagai pemerakarsanya.
Versi keenam yaitu Piagam sumpah satie Bukik Marapalam
pada akhir perang Paderi. Setelah kekalahan Paderi Belanda bisa menguasai
Minang. Belanda mulai merubah tatanan sosial masyarakat. Mereka mengangkat
Penghulu Bersurat untuk kepentingan administrasi dan untuk urusan pemungutan
pajak. Nagari-nagari yang otonom di Minang mereka jadikan bagian wilayah
Administratif Pemerintahan Hindia Belanda. Namun kekhawatiran masyarakat Minang
terhadap Belanda yang utama adalah pandangan bahwa mereka orang kafir, sehingga
ada kecemasan terjadinya perubahan struktur sosial dan nilai-nilai agama dalam
masyarakat. Upaya mengantisipasi hal itu adalah memperkuat persatuan kaum adat
dan ulama dengan mencetuskan piagam sumpah satie tersebut.
Keenam versi tersebut terdapat kelemahan dan
memperkuat keyakinan tentang peristiwa di Bukit Marapalam itu. Ketidakjelasan
informasi tentang peristiwa Piagam sumpah satie Bukit Marapalam telah
menggagalkan rencana Pemerintah Daerah Sumatera Barat membangun tugu Sumpah
Satie Marapalam di daerah tersebut.
Adat Basandi
Syarak
Sebelum Islam masuk ke Minangkabau,
orang Minang memanfaatkan alam sebagai sumber ajarannya. Mereka menggali
nilai-nilai yang diberikan alam. Ini diungkapkan dalam filsafat orang
Minangkabau alam takambang jadi guru.
Ketika agama Islam masuk, adat di
Minangkabau secara hakikinya tidak bertentangan dengan ajaran syarak dalam agama
Islam, karena alam yang telah dijadikan pedoman hidup masyarakat Minangkabau
adalah ciptaan Allah semata. Itulah sebabnya ketika Islam masuk langsung
diterima oleh orang Minangkabau. Maka, kalaupun dalam sejarah, timbulnya Perang
Paderi tidak semata karena disebabkan pertentangan kaum adat dan kaum agama
(Islam), akan tetapi karena pemurnian ajaran syarak di dalam pelaksanaan adat
semata, sebagai akibat dari amar makruf nahi munkar. Akan tetapi pemerintahan
kolonial Belanda, memakai peristiwa ini sebagai alat politik adu domba.
Namun pada tahun 1811 penguasa adat
di Minangkabau, yakni Sultan Begagarsyah mempermaklumkan perang bahu membahu
antara seluruh masyarakat anak nagari di Minangkabau, melawan pemerintahan
kolonial Belanda. Kaum adat dan kaum agama menyatukan pendapat dalam pertemuan
pangulu tigo luhak beserta para ulamanya. Pertemuan ini melahirkan Piagam
Bukik Marapalam yang menegaskan bahwa antara adat dan Islam tidak
bertentangan.
Adat
bapaneh, syarak balinduang.
Syarak mangato, adat mamakai.
Syarak mangato, adat mamakai.
Adat
bapaneh, syarak balinduang maksudnya adat bagaikan tubuh,
agama sebagai jiwa. Antara tubuh dan jiwa tidak bisa dipisahkan. Syarak
mangato, adat mamakai maksudnya syarak memberikan hukum dan syariat, adat
mengamalkan apa yang difatwakan agama. Kesimpulan piagam ini lazim disebut adat
jo syarak sanda-manyanda, kemudian lebih dikenal lagi dengan adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Dewasa ini wilayah Minangkabau secara administratif
mencakup Sumatera Barat, kecuali Kepulauan Mentawai, dan pemerintah telah
memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2000 di Sumatera Barat
tentang anti maksiat untuk menggalakkan program ABSSBK. Akan tetapi, slogan dan
Perda tersebut medapat tanggapan dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan
non muslim di Sumatera Barat.
Sumpah Satie (= Janji Setia) Bukik Marapalam
Sulit mencari bukti tertulis, kepastian waktu, tempat,
siapa pelaku utama peristiwa, dan pencetus ide piagam sumpah satie
(sumpah sakti) Bukik Marapalam, yang diyakini oleh masyarakat Minang
telah disepakati oleh para pemuka adat dan ulama, di puncak bukit Marapalam,
semasa perkembangan Islam di Minangkabau. Konsensus itu di dasari sifat
egaliter masyarakat Minang, yang yakin piagam itu berisi sumpah satie
(janji setia) antara kaum adat dan ulama, yang menyatakan “adaik basandi
syarak, syarak basandi Kitabullah” (adat bersendi syari’at Islam, Islam
bersendi Kitabullah, yakni Al Quran).
Ada beberapa pendapat, tentang waktu terjadinya Sumpah
Satie Bukik Marapalam, di antaranya menyebutkan di masa awal gerakan Paderi (1803-1809), terkait tempat
strategis, di puncak Bukit Marapalam. Gagasan maksud piagam diadakan,
menghindari banyak korban yang akan jatuh antara kelompok yang bertikai. Dari
kalangan ulama zuama disebut penggagasnta Tuanku Lintau, dan kaum adat
atas inisiatif Datuk Bandaro, yang mendatangi Datuk Samik, dan di sampaikan
kepada Datuk Surirajo Maharajo di Pariangan. Akhirnya antara kaum adat
dan ulama zuama menyepakarti satu piagam, Sumpah Satie Bukik Marapalam
yaitu “adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”.
Kesepakatan ini, tidak didapat kepastian tahun
terjadinya. Yang terlihat hanya peranan Tuanku Lintau dan Datuk Bandaro,
keduanya pengikut gerakan Paderi. Ketika keduanya dianggap sebagai penggagas,
mengatur pertemuan, dan mengeluarkan piagam sumpah satie “adaik basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah”, namun masih juga tidak diketahui pasti kapan
tanggal, bulan, dan tahun terjadinya. Akan tetapi, sejak piagam itu ada,
ketegangan antara kaum adat dan para ulama zuama mulai mereda, walau masih
terasa ada pertentangan para datuk dari Nagari Saruaso dan Batipuh.
Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan
bahwa Piagam Sumpah Satie Bukik Marapalam ada di masa Perang Paderi II,
ketika Belanda kembali memerangi kaum Paderi setelah Belanda dapat memadamkan
Perang Diponegoro.
Gerakan Paderi dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku
nan Renceh, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku
di Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan
perlawaanan terhadap penjajahan Belanda, atau Perang Paderi (1821-1837).
Dalam Perang Paderi ini, pihak Belanda berhasil memecah
kekuatan bangsa di Minangkabau. Pihak kolonial memakai politik adu domba,
antara kaum adat dan agama, yang saling curiga, sehingga kekuatan melemah.
Akhirnya, Belanda dapat merebut benteng pertahanan Paderi di puncak Bukit
Marapalam, di Lintau, Agustus 1831, dan kemudian berturut-turut menguasai
banteng Paderi di Talawi, Bukit Kamang, dan kekuatan Tuanku Nan Renceh di
obrak-abrik, sehingga membawa kekalahan bagi kaum Paderi di Agam, akhir Juni
1832..
Perang Paderi (1821-1837) menyadarkan masyarakat Minang
dan sekitarnya, bahwa pihak Belanda berhasil menampilkan konflik antara
kalangan ulama zuama, dengan kaum adat, yang berakibat melemahnya kekuatan
bangsa di Minangkabau. Namun sebelum Bukik Marapalam jatuh ke tangan Belanda,
antara kaum adat dan agama telah berunding membuat sumpah satie, melahirkan
piagam Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah di ranah Minang. Dalam peristiwa ini, nama Tuanku Lintau kembali disebut sebagai pemerakarsa.
Ada pula pendapat, bahwa sumpah satie Bukik Marapalam
terjadi di akhir perang Paderi. Setelah Paderi kalah dari tentara Belanda.
Pihak colonial Belanda merubah tatanan sosial masyarakat adat Minang dengan
mengangkat Penghulu Bersurat (besluit), guna lebih mudah urusan
memungut pajak untuk kepentingan kolonial. Nagari-nagari yang tadi
otonomi di Minangkabau, tunduk ke wilayah Administratif Pemerintahan Hindia
Belanda.
Kekhawatiran masyarakat Minang terhadap bangsa Belanda
penjajah yang kafir, dengan berubahnya struktur pemangku adat diberi besluit,
akan berakibat menjauhkan masyarakat Minangkabau dari nilai-nilai adat dan
agama Islam yang dianut mereka. Sebagai upaya menguatkan kembali jalinan
persatuan kaum adat dan ulama zuama di dalam kesatuan masyarakat adat
Minangkabau, menyebabkan lahir piagam sumpah satie Bukik Marapalam ini. Namun,
tanggal kejadian belum juga pasti.
Ketiadapastian tanggal peristiwa ini, memberi peluang
besar melakukan penelitian sejarah, serta nilai-nilai yang dikandung dalam
setiap peristiwa di dalam gerakan Paderi, juga tentang hubungan antara variabel
adat dan agama (syarak), yang serta merta berkembang untuk kasus-kasus di luar
dan dalam masyarakat Minang sepanjang waktu.[2] Di samping itu, ada pula pendapat yang menyatakan
tentang peristiwa munculnya sumpah satie ini, semasa Syekh Burhanuddin
menyebarkan Islam di tengah kuatnya pengaruh adat di alam Minangkabau.
Pengembangan Islam secara bersahabat (evolusi) menyiratkan gerakan
dakwah Syekh Burhanuddin, telah ada kesepakatan (consensus) di tengah masyarakat,
yaitu “adaik basandi syarak, syarak basandi adaik”. Kenyataan social di
tengah kehidupan masyarakat Minang di nagari, membuktikan bahwa aliran Syattariyah,
yang berkaitan erat dengan Syekh Burhanuddin, telah berkembang sampai ke
pedalaman Minang, di Nagari Andaleh, yaitu Marabukit, yang ada di kaki Bukit
Marapalam.
Sungguhpun begitu, Azwar Datuk Mangiang pernah
mewawancarai Inyiak Canduang, penulis buku “Perdamaian Adat dan Syarak”,
di akhir tahun 1966, di Pekan Kamis, Candung, dan menuliskan dalam makalahnya “Piagam
sumpah satie Bukik Marapalam”, bahwa peristiwa sumpah satie itu telah
terjadi sekitar tahun 1644 Masehi (M), jauh sebelum gerakan Paderi berkembang
di alam Minangkabau.
SARI PATI SUMPAH SATIE BUKIT MARAPALAM
(Menurut Catatan Inyiak Canduang)
Agama Islam
mula-mula datang ke Minangkabau dengan melalui daerah Pesisir (rantau),
disambut dengan tangan terbuka oleh Penghulu-Penghulu dalam Luhak nan Tigo
Lareh nan Duo.
Sesudah
Islam berkembang di Alam Minangkabau terjadilah perselisihan antara Kaum Adat
dengan Alim Ulama, disebabkan ada sebagian dari pamaianan kaum adat yang tidak
disetujui oleh Alim Ulama seperti basalung barabab, manyabung, bajudi, badusun
bagalanggang, basorak basorai dan lain-lain. Dan sebagian apa yang diharuskan
oleh agama tidak dapat dibenarkan menurut adat seperti perkawinan sepasukuan.
Untuk
memelihara persatuan dalam nagari, diusahakan oleh orang pandai-pandai dan
terkemuka mencari air nan janih sayak nan landai guna terwujudnya
perdamaian antara Penghulu dan Alim Ulama. Nan di atas ke bawah-bawah nan di
bawah ke atas-atas, masing-masing surut salangkah. Kaum adat meninggalkan
pamainan yang bertentangan dengan agama seperti manyabung, berjudi dan
sebagainya.
Dan Alim
Ulama membenarkan pula ketentuan adat yang tidak berlawanan dengan agama
seperti melarang perkawinan sepasukuan dan lain-lain, sehingga dapatlah kata
sepakat: “Bulat boleh digolongkan picak boleh dilayangkan”.
Buat
mengikrarkan dan ma-ambalaui kebulatan itu, diadakanlah pertemuan besar di atas
Bukit Marapalam (antara Lintau dan Tanjung Sungayang) yang dihadiri oleh
Penghulu-Penghulu dan Alim Ulama serta orang-orang terkemuka dalam Luhak nan
Tigo Lareh nan Duo. Dibantai kerbau, dagingnya dilapah darahnya dikacau, tanduk
ditanamkan, ditapung batu dilicak pinang, diikat dengan Alfatihah dan dibacakan
doa selamat. Dalam pertemuan besar itulah diikrarkan bersama-sama dan
menjunjung tinggi kebulatan yang telah dibuat oleh orang-orang pandai dan para
terkemuka, yaitu:
§ Penghulu rajo dalam nagari, kato
badanga, pangaja baturuik, manjua jauh manggantung tinggi.
§ Alim Ulama suluh bendang dalam
nagari, air nan janih sayak nan lancar tempat batanyo di Panghulu.
Dalam
pelaksanaannya, Alim Ulama memfatwakan dan Panghulu mamarintahkan.
Di sinan
ditanamlah Rajo Adat di Buo dan Rajo ibadat di Sumpur Kudus.
Dikarang
sumpah jo satie, yaitu: “Siapa yang melanggar kebulatan ini dimakan biso
kewi di atas dunia , ke atas indak bapucuk, ke bawah indak baurat, di tangah
dilarik kumbang, di akhirat dimakan kutuk kalam Allah.”
Di sinan
ditetapkan pepatah adat nan berbunyi: “Adat bapaneh syarak balindung”,
artinya: “Adat adalah tubuh dan syarak adalah jiwa di Alam Minangkabau”.
Dan pepatah adat nan berbunyi: “Syarak mangato adat mamakai”.
Itulah sari
pati sumpah satie (Piagam) Bukit Marapalam nan kita terima turun temurun sampai
kini. Dan hambo terima dahulunya dari tiga orang tuo, yaitu:
1.
Tuangku Lareh Kapau nan Tuo (sebelum Tuangku Lareh yang terakhir).
2.
Ninik dari mintuo hambo di Ampang Gadang.
3.
Angku Candung nan Tuo.
Bukti-bukti
yang bersua dalam pelaksanaan, yang bahasa Penghulu memerintahkan menjalankan
fatwa Ulama seperti berzakat, berpuasa, bersunat rasul dan sebagainya, yang
sulit dapat dikerjakan kalau tidak diiringi fatwa Ulama itu dengan perintah
Penghulu sebagai rajo dalam nagari.
Pada akhir
abad ke-sembilan belas dan lai hambo dapati bahwa sesuatu perkara yang terjadi
dalam nagari dihukum oleh Penghulu. Sebelum Penghulu menjatuhkan hukuman
malamnya mendatangi Ulama yang dinamakan waktu itu dengan “Bamuti”
(mungkin asalnya bermufti) untuk minta nasihat dan bermusyawarah tentang hukum
yang akan dijatuhkan (waktu itu tempat “bamuti” adalah Angku Candung nan
basurau di Baruhbalai). Dan begitu juga ditiap nagari di Minangkabau sampai
ada peraturan baru oleh Belanda yang perkara diadili oleh Tuangku Lareh,
kemudian Magistraad dan kemudian sekali Landraad.
Kaum
penjajah (Belanda) sangat kuatir kepada persatuan adat dan agama. Maka
diusahakannya memecahkan dengan mendekati Penghulu dan menjauhi Alim Ulama.
Tambo-tambo
adat yang dipinjam, katanya untuk dipelajari, tetapi sebenarnya untuk
dihabiskan, guna mengaburkan sejarah yang sebenarnya, termasuk sejarah Bukit
Marapalam ini.
Demikianlah
hambo wasiatkan untuk dipedomani oleh anak cucu hambo kemudian hari di Candung
khususnya dan di Minangkabau umumnya, karena sudah terdengar orang-orang yang
hendak mencoba memisahkan antara adat dan agama di Minangkabau.
Wabilahitaufieq.
Candung, 7
Juni 1964
26
Muharam 1384.
Dto
Syekh
Suleiman Ar Rasuly