Minggu, 17 Agustus 2014
Kalau anda ingin menikmati kemerdekaan maka merdekakan terlebih dahulu diri anda dari segala persaan yang dapat menghalangi anda untuk merdeka , jauhkan sifat dendam ,jahat sangka .rmusuhan , kebencian , sombong dan egois. sebab sifat sifat tersebut dapat membelenggu dari anda dan manjauhkan anda dari kebenaran
Ketika
menjelaskan firman Allah di surat at Taubat:60, Fakhruddin ar Razi mengatakan,
“Kandungan hukum yang kedua, ayat di atas menunjukkan bahwa penguasa atau orang
yang diangkat oleh penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengambil dan mendistribusikan
harta zakat. Sisi pendalilannya, Allah menetapkan bahwa amil mendapatkan bagian
dari zakat. Ini menunjukkan bahwa untuk membayarkan zakat harus ada amil.
والعامل هو الذي نصبه الإمام لأخذ الزكوات
Sedangkan
amil adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat (bukan
sekedar menerima zakat, pent).
Sehingga ayat di atas adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengambil harta zakat. Kebenaran pernyataan ini semakin kuat dengan firman Allah,
Sehingga ayat di atas adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengambil harta zakat. Kebenaran pernyataan ini semakin kuat dengan firman Allah,
خُذْ مِنْ أموالهم صَدَقَةً
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka” (QS at Taubah:103).
Oleh
karena itu mengatakan bahwa pemilik harta itu diperbolehkan untuk membayarkan
zakat hartanya yang tersembunyi (yaitu zakat uang, pent) secara langsung adalah
berdasarkan dalil yang lain. Mungkin di antara dalil yang menunjukkan
pernyataan ini adalah firman Allah,
وَفِى أموالهم حَقٌّ لَّلسَّائِلِ والمحروم
“Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak meminta-minta” (QS adz Dzariyat:19).
Jika
zakat adalah hak orang miskin yang meminta-minta dan yang tidak meminta-minta
maka tentu dibolehkan menyerahkan zakat secara langsung kepada yang berhak
menerima” (Mafatiih al Ghaib atau Tafsir ar Razi 8/77, Maktabah Syamilah).
Ketika
membahas hadits Ibnu Abbas tentang pengutusan Muadz bin Jabal ke Yaman, Ibnu
Hajar al Asqolani berkata, “Hadits ini bisa dijadikan dalil bahwa penguasalah
yang memiliki otoritas untuk mengambil zakat dan menditribusikannya baik secara
langsung ataupun melalui orang yang dia angkat. Barang siapa yang menolak untuk
membayar zakat maka akan diambil secara paksa” (Fathul Bari 5/123 hadits
no 1401, Maktabah Syamilah).
Ibnu Humam al Hanafi mengatakan, “Makna tekstual dari firman Allah yang artinya, ‘Ambillah zakat dari harta mereka’ (QS at Taubah:103) menunjukkan bahwa hak mengambil zakat itu secara mutlak berada di tangan penguasa” (Fath al Qodir 3/478).
Ibnu Humam al Hanafi mengatakan, “Makna tekstual dari firman Allah yang artinya, ‘Ambillah zakat dari harta mereka’ (QS at Taubah:103) menunjukkan bahwa hak mengambil zakat itu secara mutlak berada di tangan penguasa” (Fath al Qodir 3/478).
Ketika
menjelaskan firman Allah dalam surat at Taubah ayat yang ke-60, al Qurthubi al
Maliki mengatakan, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang
diangkat oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dengan status sebagai wakil
penguasa dalam masalah tersebut” (al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 8/177
Maktabah Syamilah).
Asy
Syaerozi asy Syafii mengatakan, “Penguasa memiliki kewajiban untuk mengangkat
amil untuk mengambil zakat karena Nabi dan para khalifah setelahnya selalu
mengangkat petugas zakat. Alasan lainnya adalah karena di tengah masyarakat ada
orang yang memiliki harta namun tidak mengatahui kadar zakat yang wajib
dikeluarkan. Demikian pula diantara mereka ada yang memiliki sifat pelit
sehingga penguasa wajib mengangkat petugas. Petugas yang diangkat penguasa
haruslah orang yang merdeka (bukan budak), baik agamanya dan bisa dipercaya karena
status sebagai amil zakat adalah sebuah kekuasaan dan amanah. Sedangkan seorang
budak dan orang yang fasik tidak berhak diberi kekuasaan dan amanah. Penguasa
tidak boleh mengangkat sebagai amil zakat kecuali orang yang faham fiqih karena
hal ini membutuhkan pengetahuan tentang harta yang wajib dizakati dan yang
tidak wajib dizakati serta perlu adanya ijtihad berkaitan dengan berbagai
permasalahan dan hukum zakat yang dihadapi”(al Muhadzab hal 308 dan
al Majmu’ Syarh al Muhadzab 6/167, Maktabah Syamilah)
Syeikh
Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak
mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang
diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban
untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat
sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang
yang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk
mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak
berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai
wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan
zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan
maka mereka turut mendapatkan pahala…. Namun jika mereka meminta upah karena
telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya
upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat” (Majalis Syahri Ramadhan hal
163-164, cet Darul Hadits Kairo).
Sayid
Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa
atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya.
Termasuk amil zakat orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan
ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat” (Fiqh Sunnah
1/327, terbitan Dar al Fikr Beirut).
Syeikh Shalih al Fauzan, salah seorang
ulama dari Arab Saudi, menjelaskan, “Amil zakat adalah para pekerja yang
bertugas mengumpulkan harta zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar
zakat lalu menjaganya dan mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Mereka bekerja berdasarkan perintah yang diberikan oleh penguasa
kaum muslimin. Mereka diberi dari sebagian zakat sesuai dengan upah yang layak
diberikan untuk pekerjaan yang mereka jalani kecuali jika pemerintah telah
menetapkan gaji bulanan untuk mereka yang diambilkan dari kas Negara karena
pekerjaan mereka tersebut. Jika demikian keadaannya, sebagaimana yang berlaku
saat ini (di Saudi, pent), maka mereka tidak diberi sedikitpun dari harta zakat
karena mereka telah mendapatkan gaji dari negara” (al Mulakhash al Fiqhi
1/361-362, cet Dar al ‘Ashimah Riyadh).
‘Adil
bin Yusuf al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para
petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang
yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah
orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan
mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka
itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang
kaya” (Tamam al Minnah fi Fiqh al Kitab wa Shahih al Sunnah 2/290,
terbitan Muassasah Qurthubah Mesir).
Berdasarkan
paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat
adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat
dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai
masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil
secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil
adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Sayid
Sabiq berkata, “Siapa yang menolak untuk membayar zakat padahal dia menyakini
kewajibannya maka dia berdosa karena tidak mau membayar zakat meski hal ini
tidak mengeluarkannya dari Islam. Penguasa memiliki kewajiban untuk mengambil
harta zakat tersebut secara paksa darinya serta memberikan hukuman atas sikap
orang tersebut” (Fiqh Sunnah 1/281).
Ketika
menjelaskan firman Allah di surat at Taubat:60, Fakhruddin ar Razi mengatakan,
“Kandungan hukum yang kedua, ayat di atas menunjukkan bahwa penguasa atau orang
yang diangkat oleh penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengambil dan mendistribusikan
harta zakat. Sisi pendalilannya, Allah menetapkan bahwa amil mendapatkan bagian
dari zakat. Ini menunjukkan bahwa untuk membayarkan zakat harus ada amil.
والعامل هو الذي نصبه الإمام لأخذ الزكوات
Sedangkan
amil adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat (bukan
sekedar menerima zakat, pent).
Sehingga ayat di atas adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengambil harta zakat. Kebenaran pernyataan ini semakin kuat dengan firman Allah,
Sehingga ayat di atas adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengambil harta zakat. Kebenaran pernyataan ini semakin kuat dengan firman Allah,
خُذْ مِنْ أموالهم صَدَقَةً
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka” (QS at Taubah:103).
Oleh
karena itu mengatakan bahwa pemilik harta itu diperbolehkan untuk membayarkan
zakat hartanya yang tersembunyi (yaitu zakat uang, pent) secara langsung adalah
berdasarkan dalil yang lain. Mungkin di antara dalil yang menunjukkan
pernyataan ini adalah firman Allah,
وَفِى أموالهم حَقٌّ لَّلسَّائِلِ والمحروم
“Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak meminta-minta” (QS adz Dzariyat:19).
Jika
zakat adalah hak orang miskin yang meminta-minta dan yang tidak meminta-minta
maka tentu dibolehkan menyerahkan zakat secara langsung kepada yang berhak
menerima” (Mafatiih al Ghaib atau Tafsir ar Razi 8/77, Maktabah Syamilah).
Ketika
membahas hadits Ibnu Abbas tentang pengutusan Muadz bin Jabal ke Yaman, Ibnu
Hajar al Asqolani berkata, “Hadits ini bisa dijadikan dalil bahwa penguasalah
yang memiliki otoritas untuk mengambil zakat dan menditribusikannya baik secara
langsung ataupun melalui orang yang dia angkat. Barang siapa yang menolak untuk
membayar zakat maka akan diambil secara paksa” (Fathul Bari 5/123 hadits
no 1401, Maktabah Syamilah).
Ibnu Humam al Hanafi mengatakan, “Makna tekstual dari firman Allah yang artinya, ‘Ambillah zakat dari harta mereka’ (QS at Taubah:103) menunjukkan bahwa hak mengambil zakat itu secara mutlak berada di tangan penguasa” (Fath al Qodir 3/478).
Ibnu Humam al Hanafi mengatakan, “Makna tekstual dari firman Allah yang artinya, ‘Ambillah zakat dari harta mereka’ (QS at Taubah:103) menunjukkan bahwa hak mengambil zakat itu secara mutlak berada di tangan penguasa” (Fath al Qodir 3/478).
Ketika
menjelaskan firman Allah dalam surat at Taubah ayat yang ke-60, al Qurthubi al
Maliki mengatakan, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang
diangkat oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dengan status sebagai wakil
penguasa dalam masalah tersebut” (al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 8/177
Maktabah Syamilah).
Asy
Syaerozi asy Syafii mengatakan, “Penguasa memiliki kewajiban untuk mengangkat
amil untuk mengambil zakat karena Nabi dan para khalifah setelahnya selalu
mengangkat petugas zakat. Alasan lainnya adalah karena di tengah masyarakat ada
orang yang memiliki harta namun tidak mengatahui kadar zakat yang wajib
dikeluarkan. Demikian pula diantara mereka ada yang memiliki sifat pelit
sehingga penguasa wajib mengangkat petugas. Petugas yang diangkat penguasa
haruslah orang yang merdeka (bukan budak), baik agamanya dan bisa dipercaya karena
status sebagai amil zakat adalah sebuah kekuasaan dan amanah. Sedangkan seorang
budak dan orang yang fasik tidak berhak diberi kekuasaan dan amanah. Penguasa
tidak boleh mengangkat sebagai amil zakat kecuali orang yang faham fiqih karena
hal ini membutuhkan pengetahuan tentang harta yang wajib dizakati dan yang
tidak wajib dizakati serta perlu adanya ijtihad berkaitan dengan berbagai
permasalahan dan hukum zakat yang dihadapi”(al Muhadzab hal 308 dan
al Majmu’ Syarh al Muhadzab 6/167, Maktabah Syamilah)
Syeikh
Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak
mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang
diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban
untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat
sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang
yang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk
mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak
berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai
wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan
zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan
maka mereka turut mendapatkan pahala…. Namun jika mereka meminta upah karena
telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya
upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat” (Majalis Syahri Ramadhan hal
163-164, cet Darul Hadits Kairo).
Sayid
Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa
atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya.
Termasuk amil zakat orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan
ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat” (Fiqh Sunnah
1/327, terbitan Dar al Fikr Beirut).
Syeikh Shalih al Fauzan, salah seorang
ulama dari Arab Saudi, menjelaskan, “Amil zakat adalah para pekerja yang
bertugas mengumpulkan harta zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar
zakat lalu menjaganya dan mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Mereka bekerja berdasarkan perintah yang diberikan oleh penguasa
kaum muslimin. Mereka diberi dari sebagian zakat sesuai dengan upah yang layak
diberikan untuk pekerjaan yang mereka jalani kecuali jika pemerintah telah
menetapkan gaji bulanan untuk mereka yang diambilkan dari kas Negara karena
pekerjaan mereka tersebut. Jika demikian keadaannya, sebagaimana yang berlaku
saat ini (di Saudi, pent), maka mereka tidak diberi sedikitpun dari harta zakat
karena mereka telah mendapatkan gaji dari negara” (al Mulakhash al Fiqhi
1/361-362, cet Dar al ‘Ashimah Riyadh).
‘Adil
bin Yusuf al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para
petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang
yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah
orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan
mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka
itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang
kaya” (Tamam al Minnah fi Fiqh al Kitab wa Shahih al Sunnah 2/290,
terbitan Muassasah Qurthubah Mesir).
Berdasarkan
paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat
adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat
dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai
masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil
secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil
adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Sayid
Sabiq berkata, “Siapa yang menolak untuk membayar zakat padahal dia menyakini
kewajibannya maka dia berdosa karena tidak mau membayar zakat meski hal ini
tidak mengeluarkannya dari Islam. Penguasa memiliki kewajiban untuk mengambil
harta zakat tersebut secara paksa darinya serta memberikan hukuman atas sikap
orang tersebut” (Fiqh Sunnah 1/281).
Jumat, 15 Agustus 2014
Adat jo Syarak
Memang sudah merupakan komitmen dalam adat Minangkabau bahwa antara adat dan syarak harus menyatu dalam praktek kehidupan masyarakat Minangkabau seperti ungkapan ini :
TASINDORONG JOJAK MANURUN TATUKIAK JOJAK MANDAKI
ADAT JO SYARAK KO SADUNDUN BUMI SONANG PADI MANJADI
SIMUNCAK MATI TARAMBAU KALADANG MAMBAO LADIANG LUKO PAO KADUONYO
ADAT JO SYARAK DIMINANGKABAU SARUPO AUA JO TOBIANG SANDA MANYANDA KADUONYO
TASINDORONG JOJAK MANURUN TATUKIAK JOJAK MANDAKI
ADAT JO SYARAK KO SADUNDUN BUMI SONANG PADI MANJADI
SIMUNCAK MATI TARAMBAU KALADANG MAMBAO LADIANG LUKO PAO KADUONYO
ADAT JO SYARAK DIMINANGKABAU SARUPO AUA JO TOBIANG SANDA MANYANDA KADUONYO
السلام عليكم ورحمة
الله وبركاته
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ ألْحَمْدُ للهِ حَمْدًا كَثِيْرًا ،كَمَا
يَلِيِقُ بِجَلاَ لِهِ وَكِمَالِهِ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِهِ ، اَللَّهُمَّ صَلِّ
وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ أفْضَلُ أنْبِيَائِهِ
وَرُسُوْلِهِ أمَّا بَعْدُ
Segala puji dan syukur kita
serahkan kepada Allah sebagaimana
patutnya , sesuai dengan kemuliaan dan kesempurnaan Nya serta kebesaran keagungan
kekuasaan Nya. Selawat dan salam serta keberkatan , kiranya dicurahkan kepada
junjungan kita nabi Muhammad ,SAW nabi yang paling mulia diantara para nabi dan
rasul yang telah diutus Nya
Hadirin
dan hadirat yang berbahagia
Pidato pendek yang akan saya
sampaikan dalam kesempatan ini akan mengungkapkan sepintas lalu tentang PERANAN
GENERASI MUDA DALAM SEJARAH PERJUANGAN BANGSA. Generasi muda adalah tulang
punggunga dari setiap bangsa , sehingga kemanunggalan pemuda dalam sejarah
perjuangan bukan hanya terjadi di negeri kita saja . Setiap negeri yang
berjuang untuk merobah nasibnya, selalu menghandalkan kekuatan para pemudanya .
Hal ini pun terjadi dalam perjuangan nabi Muhammad , SAW. Diantara sekian
banyak sahabat Rasulullah dari kalangan remaja yang ikut berjuang bersama
beliau adalah , Ali bin Abi Thalib ,
Zaid bin Tsabit , Abu Dzar al-Gifari , Abdullah bin Umar , Ibnu ‘Abbas , Ibnu
Ma’ud Radhiyallahu ‘anhum. Mereka
senantiasa berada digaris depan bersama Rasulullh , baik dalam
perjuangan melawan musuh musuh Islam maupun dalam membangun inpra struktur
masyarakat muslim , mereka adalah pemuda-pemuda pemberani , cerdas dan
mempunyai semangat yang kuat . Sehingga agar kita dapat mengikuti sunnah
Rasullah ini beliau pesankan dalam sebuah hadis yang berbunyi :
اُوْصِيْكُمْ بِالشَّبَابِ خَيْرًا فَإنَّهُمْ أَرَقُّ أفْـئِدَةً إنَّ
الله َ بَعَثَنِيْ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا فَحَالَفَنِيْ شَبَابٌ وَخَالَفَنِيْ
شُيُوْخٌ
Artinya : Aku pesankan kan kepada
kamu agar menjaga para remaja dengan sebaik-baiknya karena hati mereka sangat
halus ( mudah dipengaruhi ) Sesengguhnya Allah telah mengutus aku untuk
menyampaikan berita gembira dan khabar
pertakut . ( Dalam berjuang ) aku menempatkan generasi muda didepanku dan
generasi tua dibelakangku
Apa yang disampaikan oleh baginda
Rasulullah itu adalah benar ada nya. Dan merupakan kenyataan yang tidak dapat
kita ingkari . Generasi muda adalah insan insan yang sedang melalui masa pancaroba yang sangat
sensitif terhadap pengaruh keadaan .
Apabila generasi tua dapat memberikan ketoladanan yang baik serta
membina dan mengarahkan mereka pada hal hal yang positif, maka mereka akan
menjadi generasi muda yang dinamis, dan dapat dihandalkan sebagai kekuatan inti
dalam perjuangan dan pembangunan , namun apabila generasi tua meberikan
ketoladanan yang tidak baik, tidak meberikan pembinaan dan bimbingan serta membiarkan para remaja itu larut dalam
alam kehidupan remajanya, jangan disalahkan kalau mereka terseret kedalam dunia
kebebasan seperti yang dialami oleh sebahagian remaja kita pada hari ini.
Hadirin
dan hadirat yang saya hormati.
Sekarang mari kita lihat sepintas
lau pranan pemuda dalam sejarah perjuangan bangsa kita Indonesia tercinta ini .
Kita sudah sama-sama mengetahui bahwa bangsa kita pernah dijajah oleh bangsa
lain lebih kurang tiga setengah abad lamanya. Sepanjang dalam masa terjajah itu selau ada pergerakan dan perjuangan bangsa
kita untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan , ada perjuangan dengan
senjata seadanya seperti golok parang dan bambu runcing dan ada pula perjuangan
secara politik dengan membentuk organisasi , perkumpulan dan sebagainya dan yang tidak
kalah penting berjuang melalui da’wah dan pendidkan Islam,
Kita tidak mengetahui berapa jumlahnya para
pemuda yang gugur sebagai syuhadak dalam
memperjuangkan kemedekaan bangsa ini, Walaupun yang ditetapkan sebagai pahlawan
bangsa hanya sebahagian kecil dari mereka . Beberapa Perjuangan politik yang
mereka lakukan yang masih kita kenang sampai hari ini seprti Budi Utomo yang cetuskan
oleh Pemuda-pemuda generasi tahun 1908 . yang pernah disebut sebut pada zaman
Orde Baru dengan Kebangkitan Nasional Pertama . Kemudian itu , Sumpah Pemuda
yang dicetuskan oleh pemuda-pemuda genersi tahun 1928 , dimana mereka betekad untuk
menyatukan bangsa Indonesia , menyatukan wilayah Nusantara yang luas ini, menyatukan
bahasa Indonesi. Akhirnya segala susah payah dan pengorbanan generasi
sebelumnya dapat dituntaskan oleh generasi tahun 1945 dengan terlepasnya bangsa
kita dari belenggu penjajahan . Kalau kita bukak kembali lembaran sejarahnya
maka kita akan melihat bahwa yang menjadi tulang punggung dalam semua
perjuangan itu adalah genersi muda.
Seterusnya,
walaupun negara kita sudah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945 namun kita
belum trelepas dari ancaman , karena kolonial Belanda masih berambisi untuk kembali
menjajah bangsa kita , hanya lebih kurang berselang waktu tiga bulan mereka
datang lagi untuk merampas kemerdekaan dari tangan kita . Maka pemuda pemuda
kita bertekad untuk mempertahan kemerdekaan sampai tetesan darah teakhir ,
Dengan semboyan “SEKALI MERDEKA TETAP
MERDEKA , LEBIH BAIK MATI DARI PADA TERJAJAH KEMBALI “ Mereka menghadang
kekuatan Belanda bersama sekutunya . Tanggal 10 Nopember 1945 merupaka tanggal merah bangsa kita , bagaikan
merahnya darah para pejuang yang membasahi bumi Surabaya dalam mempertahankan
bangsa tercinta .
Semenjak
itu Belada semakin beringas bagaikan singa kehilangan mangsa, pembunuhan
pembakaran rumah terjadi dimana-mana Di
kota Payakumbuh, jembatan batang Agam di jalan Ahmad Yani merupakan saksi bisu
atas kekejaman Belanda , Pemuda pemuda kita ditangkap dan dihabisi diatas
jembatan itu tanpa menaruh belas kasiahan , Jembatan ini akhirnya diberi nama
jembatan Ratapan ibu . agar generasi yang datang sesudah nya tidak melupakan
peristiwa yang sangat menyedihkan itu
Setelah
melalu berbagai macam perjuangan baik perjuangan bersenjata, diplomasi ataupun perundingan yang sangat
alot barulah pada tahun 1951 Belabda mengakui kemerdekaan Indonesia secara
penuh dan menyerahkan kedaulatan ketangan kita .
Saudara-saudaraku para remaja
Hasil
pengorbanan para pejuang yang kami sebutkan itu jangan kita sia-siakan,
Cita-cita mereka yang belum tercapai harus kita wujudkan dan perjuangan mereka
yang belum selesai harus kita lanjutkan , Sebagai generasi muda dizamaman
kemajuan dan tenologi ini kita harus bebuat banyak untuk bangsa ini , kita
tidak lagi akan berjuang melawan para penjajah yang datang ke negeri kita
memikul senjata seperti Belanda dan Jepang. Namun kita harus tetap berjuang membebaskan
bangsa ini dari kemiskinan dan kebodohan , dari korupsi dan ketidak adilan
sebab hal inilah nanti yang dapat menghancurkan bangsa kita.
Mulai
hari ini kita sudah harus mempersiapkan diri untuk tampil sebagai pejuang
bangsa dimasa datang , kita harus tampil sebagai pahlawan penyelamat bangsa
dari kehancuran , jangan kita menjadi generasi yang menghacurkan bangsa ini
dimasa datang
Sebelum
tongkat komando terpegang ditangan kita dan sebelum kursi kepemimpinan
diserahkan kepada , mari kita siapkan diri kita dengan sebaik baiknya . Kuatkan
‘aqidah kita agar segala tindak tanduk serta kebijakan kita nanti tidak keluar
dari jalan yang dibenarkan Allah. Tanamkan cinta kepada bangsa dan negara agar
kita menjadi seorang yang bertanggunga jawab terhadap tugas-tugas yang
diserahkan kepada kita.
Demikianlah
yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan ini
andaikata terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penyampaian ini
terlebih dahulu saya minta ma’af
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
PERBEDAAN ANTARA AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH DENGAN SYI’AH IAMAMIYYAH / ISMA’ILIYYAH
Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dianggap sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah, seperti perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, antara Madzhab Safi’i dengan Madzhab Maliki.
Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak dilakukan ?.
Oleh karena itu, disaat Muslimin bangun melawan serangan Syiah, mereka menjadi penonton dan tidak ikut berkiprah.
Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui.
Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya.
Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi’i.
Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam Ushuul.
Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur'an mereka juga berbeda dengan Al-Qur'an kita (Ahlussunnah).
Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur'annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan.
Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri.
Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).
1. Ahlussunnah : Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a) Syahadatain
b) As-Sholah
c) As-Shoum
d) Az-Zakah
e) Al-Haj
Syiah : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a) As-Sholah
b) As-Shoum
c) Az-Zakah
d) Al-Haj
e) Al wilayah
2. Ahlussunnah : Rukun Iman ada 6 (enam) :
a) Iman kepada Allah
b) Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c) Iman kepada Kitab-kitab Nya
d) Iman kepada Rasul Nya
e) Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
f) Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Syiah : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*
a) At-Tauhid
b) An Nubuwwah
c) Al Imamah
d) Al Adlu
e) Al Ma’ad
3. Ahlussunnah : Dua kalimat syahadat
Syiah : Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.
4. Ahlussunnah : Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.
Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.
Syiah : Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka.
5. Ahlussunnah : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah :
a) Abu Bakar
b) Umar
c) Utsman
d) Ali Radhiallahu anhum
Syiah : Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai'at dan mengakui kekhalifahan mereka).
Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak dilakukan ?.
Oleh karena itu, disaat Muslimin bangun melawan serangan Syiah, mereka menjadi penonton dan tidak ikut berkiprah.
Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui.
Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya.
Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi’i.
Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam Ushuul.
Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur'an mereka juga berbeda dengan Al-Qur'an kita (Ahlussunnah).
Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur'annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan.
Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri.
Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).
1. Ahlussunnah : Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a) Syahadatain
b) As-Sholah
c) As-Shoum
d) Az-Zakah
e) Al-Haj
Syiah : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a) As-Sholah
b) As-Shoum
c) Az-Zakah
d) Al-Haj
e) Al wilayah
2. Ahlussunnah : Rukun Iman ada 6 (enam) :
a) Iman kepada Allah
b) Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c) Iman kepada Kitab-kitab Nya
d) Iman kepada Rasul Nya
e) Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
f) Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Syiah : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*
a) At-Tauhid
b) An Nubuwwah
c) Al Imamah
d) Al Adlu
e) Al Ma’ad
3. Ahlussunnah : Dua kalimat syahadat
Syiah : Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.
4. Ahlussunnah : Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.
Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.
Syiah : Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka.
5. Ahlussunnah : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah :
a) Abu Bakar
b) Umar
c) Utsman
d) Ali Radhiallahu anhum
Syiah : Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai'at dan mengakui kekhalifahan mereka).
Langganan:
Postingan (Atom)